Saat ini,
kondisi bumi sedang tidak baik-baik saja. Beragam faktor yang mempengaruhi
antara lain umur bumi yang semakin tua dengan jumlah penduduk dunia semakin
meningkat sehingga kebutuhan primer dan tersier pun bertambah. Maka, bumi
sebagai sumber bagi kehidupan makhluk hidup turut mengalami dampak negatif dari
pertumbuhan tersebut yaitu meningkatnya suhu bumi yang mengakibatkan terjadinya
perubahan iklim. Namun perubahan ini terjadi begitu signifikan terutama pasca
revolusi industri di akhir abad ke-18.
Kiri : tren perubahan suhu 1850-2021 (sumber: id.wikipedia.org); kanan: kondisi parameter pemanasan global (sumber: BMKG, WMO dan NASA, diolah Litbang Kompas).
Terjadinya
perubahan ekstrem pada cuaca ini membuat penggerak lingkungan bahkan regulator
di pemerintahan memutar otak untuk melakukan adaptasi dan mitigasi lingkungan.
Salah satunya mengeksplorasi potensi karbon biru atau “Blue Carbon”
sebagai pengendali perubahan iklim. Istilah Blue Carbon sendiri merujuk
pada karbon yang tersimpan di ekosistem pesisir (laut) dengan penyimpanan
secara alami melalui penyerapan CO2 oleh tanaman hidup di air.
Mulanya, IUCN (International Union for Conservation of Nature) bersama
organisasi lainnya menginisiasi gerakan internasional karbon biru yang berfokus
dalam kegiatan mitigasi melalui konservasi dan restorasi ekosistem laut dan
pesisir yang bersumber dari ekosistem hutan mangrove, rawa pasang surut
atau rawa payau dan padang lamun. Mengingat bahwa sebaran ekosistem karbon biru
ini terletak di sepanjang pesisir semua benua kecuali Antartika. Blue carbon
ini merupakan salah satu bagian dari carbon sinks atau entitas alami
dan buatan yang mampu menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer.
Dua carbon sinks lainnya yaitu
dalam bentuk green carbon dan soil absorbs.
Distribusi global ekosistem “blue carbon” (sumber: national-oceanographic.com).
Berdasarkan kondisi geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia yaitu sepanjang 108.000 km. Dari data kementerian Kelautan dan Perikanan (2023) terdapat 16.771 pulau di Indonesia. Melihat dua poin penting tersebut memberikan potensi yang baik bagi Indonesia untuk melakukan penelitian dan eksplorasi karbon biru guna mengurangi emisi dan menjadi alternatif sumber daya terbarukan. Tercatat menurut Climate institute bahwa potensi laut sebagai penyerap karbon terbesar dengan laju sekitar 25% atau 2000 Tera karbon/tahun. Sedangkan menurut Balitbang Jakarta, serapan karbon di Indonesia untuk sedimen mangrove sebesar 1000 ton per Ha/tahun. Dari data kajian tahun 2014, potensi blue carbon di Kaimanan, Papua Barat berupa hutan mangrove dengan luas 76.000 Ha dan terbesar di Indonesia. Itu artinya sekitar 76 juta ton/tahun karbon dapat terserap dari 1 sebaran wilayah ekosistem karbon biru. Contoh lain yaitu terdapat hutan mangrove di Sulawesi Utara dengan luas 11.691 Ha dengan potensi serap 4,29 juta CO2. Di tambah lagi, Indonesia tercacat memiliki mega biodiversity kehidupan laut dan pesisir berupa coral triangle sebesar 52% terumbu karang dunia, mengisi 23% sebaran hutan mangrove di dunia atau sekitar 3.15 juta Ha dan terdapat padang lamun terluas di dunia dengan luas 3.3 juta Ha. Namun sayangnya, memiliki status negara penghasil blue carbon terbesar di dunia, tidak lantas menjadikan Indonesia negara yang sukses mengelola potensi pesisirnya.
Mekanisme atau siklus penyerapan karbon pada ekosistem “blue carbon” (sumber: reefresilience.org)
Dari ketiga ekosistem “blue carbon” yang saling terintegrasi, ada dua diantaranya sangat berpotensi di Indonesia yaitu hutan mangrove dan padang lamun. Pada hutan mangrove, penyerapan CO2 melalui proses fotosintesis dengan cara difusi melalui stomata kemudian karbon disimpan dalam bentuk biomassa baik diatas tanah (batang, cabang, ranting, daun, bunga dan buah) juga biomassa di bawah tanah (akar dan tanah). Bagian terbesar dari hutan mangrove yang dapat menyimpan karbon adalah sedimen yang terdapat di bawahnya. Selain itu, pelepasan emisi karbon ke udara pada hutan mangrove
lebih kecil dari pada hutan di daratan karena pembusukan serasah tanaman aquatic tidak melepas karbon ke udara sedangkan tanaman hutan tropis yang mati dapat melepas ±5% karbon ke udara.
Ekosistem “blue carbon” lain yang berpotensi adalah padang lamun atau “seagrass” yaitu ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun atau tumbuhan monokotil (angiospermae) berbunga dari kelas liliopsida yang hidup secara permanen di bawah permukaan air laut dan berperan menangkap karbon dengan sistem solubility pump atau biological pump dengan mengikat CO2 di air menjadi DIC (Dissolves inorganic Carbon) untuk komponen fotosintesis atau tersedimentasi di dasar laut selama lamunmasih hidup. Sebaran padang lamun ini < 0.2% dari luas wilayah lautan di dunia, namun memiliki potensi menimbun karbon 4.4 – 8.4 miliar metrik ton karbon organik/tahun atau 2x jumlah karbon per Ha dibanding lahan di daratan, dengan penyimpanan karbon terbanyak pada bagian akar. Sedangkan untuk ekosistem rawa payau banyak tersebar di Australia, Eropa dan Amerika.
Ekosistem blue carbon ini memiliki keunggulan yaitu dapat menyimpan karbon dalam waktu puluhan tahun hingga 1 millenium jika tidak terjadi gangguan ekosistem. Oleh karena nya, potensi blue carbon ini searah dengan beberapa kebijakan yang saat ini sedang berjalan seperti carbon credit. Carbon credit yang diatur dengan kebijakan tepat dapat membuka kesempatan terhadap pengembangan mitigasi lingkungan melalui potensi blue carbon dan lainnya. Salah satunya dengan kebijakan carbon offset yaitu penyeimbangan emisi karbon melalui pembelian carbon credit bagi pemegang kepentingan melalui carbon trading. Dengan nilai satu unit carbon credit sama dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida maka dapat tercipta siklus pengeluaran dan pengurangan emisi yang terkelola lebih baik. Namun menurut WRI, perlunya memperluas jalur pendanaan karbon biru dengan mempertimbangkan beragam pilihan proyek, selain monetisasi melalui credit carbon. Melalui batasan emisi, aturan dan perhitungan teknis yang tepat oleh pemerintah selaku pemberi izin atas perusahaan atau pemangku kepentingan yang menghasilkan emisi karbon, maka kebijakan tersebut dapat terpantau dan memperlambat terjadinya kerusakan lingkungan atau perubahan iklim global.
Alur carbon credit-carbon offset melalui regulasi pasar
karbon (sumber: lindungihutan.org).