Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng besar yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik yang memiliki pergerakan tektonik aktif berkisar 5-7cm/tahun (Newcomb dan McCann, 1987), dengan demikian akibat pertemuan tiga lempeng tersebut terbentuklah gugusan gunung api yang memanjang dari Sabang hingga Merauke. Gugusan gunung api memiliki peranan penting dalam mengontrol morfologi di Indonesia yang meliputi perbukitan ataupun pegunungan dengan bentuk bergelombang lemah – kuat. Bentuk morfologi berupa perbukitan ataupun pegunungan di Indonesia memiliki perbedaan dari tiap kelas kemiringan lereng yang memiliki potensi untuk terjadinya gerakan tanah yang dipengaruhi oleh faktor internal berupa jenis litologi dan struktur geologi ataupun faktor eksternal berupa kelerengan, tutupan lahan dan pengaruh cuaca. Indonesia memiliki kondisi iklim tropis dengan dua musim yang dilewati oleh garis khatulistiwa, akibat dilewati garis khatulistiwa intensitas hujan yang terjadi hampir di seluruh wilayah cenderung tinggi, sehingga proses pelapukan ataupun erosi bisa terjadi dimana saja yang menimbulkan bahaya berupa gerakan tanah pada lereng-lereng yang tidak stabil. Identifikasi potensi bahaya gerakan tanah menjadi sangat penting untuk dipelajari karena pada daerah perbukitan ataupun pegunungan memiliki tingkat resiko tertinggi. Para peneliti terdahulu mencoba membagi parameter dalam pengontrol gerakan tanah untuk mengidentifikasi tahapan dini dalam mengenali bahaya gerakan tanah. Karnawati (2004) menjelaskan faktor pengontrol gerakan tanah dapat dipengaruhi oleh geomorfologi, tanah, geologi, geohidrologi dan tata guna lahan yang saling berinteraksi dalam mengidentifikasi kondisi lereng yang cenderung berpotensi untuk bergerak. Dengan demikian kajian geologi merupakan salah satu komponen penting yang bisa dipelajari untuk mengenali kondisi lereng yang berpotensi mengalami gerakan tanah dengan resiko rendah – tinggi berdasarkan resistensi batuan dengan kondisi segar atau lapuk. Beberapa faktor dari gerakan tanah akibat peningkatan tegangan geser bisa terjadi karena struktur geologi berupa kontak antar batuan dengan pelapukan batuan, adanya retakan, patahan (sesar), rekahan (tension) dan dip lapisan batuan yang curam (Sutikno, 2000).
Hoek dan Bray (1981) membagi empat jenis gerakan tanah atau yang dikenal dengan istilah longsoran berdasarkan dari bidang gelincir yang terbentuk yaitu longsoran bidang (plane failure), longsoran baji (wedge failure), toppling failure dan circular failure (Gambar 1). Longsoran bidang adalah longsoran yang terjadi jika massa batuan bergerak menuruni lereng sepanjang bidang gelincir (Gambar 1a), longsoran baji adalah longsoran yang terjadi akibat adanya dua bidang diskontinuitas saling berpotongan dengan longsoran yang berlangsung sepanjang bidang tersebut yang membentuk seperti membaji (Gambar 1b), toppling failure adalah jenis pergerakan yang terjadi tanpa perlu media berupa bidang gelincir dan dapat terjadi akibat pengaruh gravitasi (Gambar 1c), dan yang terakhir yaitu Circular failure adalah longsoran yang terjadi pada batuan yang mengalami proses pelapukan yang intensif sehingga terbentuk material lepas dengan bentuk yang tidak teratur (Gambar 1d).
Metode dalam pengenalan potensi gerakan tanah berdasarkan jenis litologi dan struktur geologi dapat dilakukan dengan melakukan observasi lapangan. Jenis batuan merupakan komponen dasar untuk mengetahui genesa batuan dari suatu wilayah yang implikasinya dalam mengidentifikasi resistensi dan kemampuan batuan untuk stabil. Batuan berdasarkan jenisnya dibagi menjadi empat yaitu batuan sedimen, batuan beku, batuan metamorf dan batuan piroklastik. Berdasarkan genesanya batuan sedimen merupakan batuan yang berasal dari rombakan asal batuan yang mengalami transportasi, sedangkan batuan beku berasal dari proses pendinginan magma yang terjadi pada dapur gunung api ataupun yang telah keluar ke permukaan, kemudian batuan metamorf merupakan batuan yang berasal dari peningkatan temperatur dan tekanan yang bersumber dari batuan beku dan sedimen ataupun dari batuan asal itu sendiri. Batuan piroklastik merupakan hasil dari produk gunung api yang dibagi berdasarkan sifatnya menjadi dua yaitu jatuhan (fall) dan aliran (flow).
Batuan sedimen memiliki ciri tersusun dari butir-butir yang saling terhubung, semakin kecil butir pada batuan maka potensi gerakan tanah akan semakin tinggi dikarenakan karena butir dengan tekstur halus memiliki ciri saling sejajar dan tidak mengikat. Mineral lempung juga memiliki sifat yang rentan terhadap air dan mudah mengembang, sebaliknya jika mineral lempung memiliki kandungan air yang sangat rendah maka batuan akan mengalami penyusutan dan membentuk seperti mud crack. Pada (Tabel 1a) terjadi toppling failure pada batuan sedimen dimana gerakan tanah tidak memerlukan media dan jatuh bebas akibat gaya gravitasi dikarenakan adanya rongga didalam batuan.
Batuan metamorf memiliki resistensi yang lebih baik dibanding ketiga jenis batuan lainnya, hal tersebut dapat terlihat pada (Tabel 1b) dimana proses peningkatan temperatur dan tekanan dalam proses pembentukan mempengaruhi penyusunan mineral yang sangat kompak, komposisi mineral stabil, proses pelapukan pada batuan metamorf relatif rendah karena air sulit untuk masuk kedalam pori-pori batuan. Umumnya batuan metamorf terbentuk pada lapisan bumi yang relatif dalam, proses pembebanan batuan akan membuat batu mengalami gradien termal tinggi dan membentuk senyawa kimia yang tidak mudah mengalami pelapukan.
Batuan beku umumnya memiliki resistensi yang baik, tingkat pelapukan dapat terjadi pada batuan yang memiliki intensitas rekahan ataupun retakan yang dominan, komposisi mineral batuan relatif stabil. Proses pendinginan magma dan pembentukan yang berada dalam bumi menyebabkan batuan beku memiliki sifat yang keras. Batuan beku memiliki tekstur yang beragam hal tersebut dikarenakan lokasi dimana terbentuknya batuan. Tekstur batuan beku halus biasanya berada pada batuan beku luar, sedangkan semakin dalam terbentuknya batuan tekstur yang dijumpai relatif kasar. Tekstur pada batuan beku tidak memiliki pengaruh terhadap ketahanan batuan, berbeda dengan batuan sedimen dimana tekstur berperan penting dalam kompaksi batuan (Tabel 1c).
Batuan piroklastik umumnya memiliki resistensi yang bervariasi, piroklastik aliran mempunyai ciri dengan batuan yang membentuk lava dan sebagian menyerupai struktur bantal yang terendapkan pada lembah-lembah ataupun sungai. Piroklastik aliran tidak memiliki potensi tinggi untuk terjadi gerakan tanah didasari dari terendapkannya batuan, sedangkan piroklastik jatuhan memiliki potensi tinggi untuk terjadi gerakan tanah. Hal tersebut didasari dari sifat piroklastik jatuhan yang tersusun dari material dengan ukuran yang bervariasi yaitu debu – bomb dengan sifat material lepas dan mengisi pada lereng-lereng kaki bukit. Semakin besar ukuran piroklastik jatuhan maka akan berkaitan dengan semakin dekatnya dengan sumber letusan, sifat batuan piroklastik jatuhan debu – lapillus jika terkena air akan menggumpal dan tidak merekat pada massa dasarnya, hal tersebut yang menyebabkan piroklastik jatuhan memiliki potensi tinggi untuk terjadi gerakan tanah. Pada (Tabel 1d, 1e dan 1f) memperlihatkan proses gerakan tanah terjadi karena sifat piroklastik jatuhan tersusun dari material lepas dan mudah larut terhadap air.
Proses gerakan tanah biasanya berlangsung pada kondisi batuan yang tidak resisten yang telah mengalami pelapukan. Semua jenis batuan bisa mengalami pelapukan, tetapi batuan sedimen dan piroklastik memiliki kecenderungan yang lebih mudah lapuk dibanding dengan batuan beku dan metamorf.
Struktur geologi pada suatu daerah dapat dikenali dengan adanya suatu blok yang mengalami patah ataupun munculnya rekahan-rekahan pada batuan. Gerakan tanah yang disebabkan oleh strukur biasanya dikenal dengan plane failure. Daerah yang dilewati oleh sesar-sesar mayor aktif berpotensi untuk terjadi gerakan tanah, hal tersebut dikarenakan sesar dengan pergerakan mayor dapat mengontrol adanya sesar-sesar dengan dimensi yang lebih kecil yang melewati zona lemah. Kekar merupakan suatu rekahan pada batuan yang terbentuk akibat adanya proses tektonik ataupun akibat pelepasan energi. Kekar berdasarkan jenisnya dibagi menjadi kekar gunting (shear fracture) yaitu kekar yang saling berpotongan dan kekar tension yang memiliki pola saling sejajar dan relatif tegak lurus arahnya terhadap shear fracture. Semakin tinggi intensitas kekar pada batuan akan memudahkan untuk terjadinya proses pelapukan secara kimiawi dan mempercepat proses infiltrasi tanah, sehingga batuan akan tersusun dengan material lepas yang membentuk bongkah dan berpotensi untuk terjadinya gerakan tanah. Bukaan kekar (aperture) dengan jarak >3 cm biasanya terbentuk karena intensitas pelapukan yang cukup tinggi dan berpotensi besar mengalami gerakan tanah (Gambar 2), sedangkan kekar dengan aperture 0.01 – 1 cm umumnya terjadi akibat adanya proses gaya kompresi ataupun ekstensi (Gambar 3). Batuan sedimen, beku dan metamorf sering dijumpai adanya kekar yang dipengaruhi oleh tektonik ataupun penyusutan massa batuan, sedangkan pada batuan piroklastik kekar jarang dijumpai.
Hubungan jenis batuan terhadap struktur geologi dapat membantu dalam mengindikasikan adanya potensi bahaya gerakan tanah, Berdasarkan resiko gerakan tanah dari tinggi ke rendah terdiri dari batuan piroklastik, sedimen, beku dan metamorf. Hal tersebut didasari dari tingkat kekerasan dari masing-masing batuan dan hubungan antar butir yang menyusun batuan. Struktur geologi berupa patahan akan membentuk longsoran bidang, proses tersebut bisa berlangsung tanpa adanya bukti pelapukan yang tinggi pada batuan dengan kontrol utama berupa adanya gaya tektonik yang bekerja dan dapat terjadi terhadap empat jenis batuan. Proses pelapukan dapat mempengaruhi dari terbentuknya tiga tipe longsoran yaitu longsoran baji, toppling failure dan circular failure. Proses gerakan tanah akan berlangsung pada kondisi dimana gaya yang menahan lebih kecil dibanding gaya yang meluncur, sebaliknya jika gaya yang menahan lebih besar maka kondisi lereng akan stabil. Dapat disimpulkan proses gerakan tanah lebih didominasi karena pengaruh pelapukan dibanding dengan struktur geologi, hal tersebut didasari karena pengaruh dari perubahan sifat mekanika, kimiawi dan biologis pada batuan yang terjadi karena Indonesia memiliki curah hujan yang tinggi. Potensi bahaya gerakan tanah dapat berlangsung dimana saja pada saat debit air merusak kesetimbangan suatu lereng.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana keempat jenis batuan memiliki tingkat pelapukan yang berbeda walaupun dengan proses media yang sama, pemetaan struktur geologi diperlukan untuk mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap kondisi lereng-lereng yang dilewati patahan ataupun zona perlipatan sehingga bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengantisipasi adanya bahaya gerakan tanah dikemudian hari.
Gambar 1. Tipe longsoran pada lereng (Hoek dan Bray, 1981)
Gambar 2. Rongga kekar yang terisi oleh material lapukan berupa tanah dan berpotensi tinggi untuk terjadi gerakan tanah.
Gambar 3. Kekar gerus yang terisi oleh mineral kalsit pada batuan basalt dengan kompaksi tinggi.
Daftar Pustaka
Karnawati, D. 2004. Bencana Gerakan Massa Tanah/ Batuan di Indonesia; Evaluasi dan Rekomendasi, Dalam Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia. Jakarta: P3 – TPSLK BPPT dan HSF.
Hoek, E. dan Bray, J.W. 1981. Rock Slope Engineering, 3rd Ed. Institution of Mining and Metallurgy. London. P pp 356
Newcomb, K.R. & Mccann, W.R., 1987. Seismic history and seismotectonics of the Sunda Arc. Journal of Geophysical Research, 92, 421-439.
Sutikno. 2001. Pengelolaan Data Spasial Untuk Penyusunan Sistem Informasi Penanggulangan Tanah Longsor di kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Makalah Seminar Dies Fakultas Geografi UGM ke- 38 Tanggal 29 Agustus 2001, Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.